Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A.
Dikutip dari bulletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di
Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), kerja sama antara UNDP, World
Bank, Asian Development Bank beserta negara-negara sahabat, masyarakat madani dan
pemerintah Indonesia.
Nurcholish Madjid memandang jauh kebelakang mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dengan memberikan perbandingan pada kondisi objektif kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Menurutnya, tata pemerintahan yang baik sudah mulai ada dengan diperkenalkannya
konsep-konsep penting seperti partisipasi, konsensus, keadilan, dan supremasi hukum oleh Nabi
Muhammad SAW ketika beliau membangun Madinah tahun 622 M.
Kata Madinah bermakna
sebuah tempat yang didiami orang-orang yang taat peraturan dan saling memenuhi perjanjian
yang diciptakan (disebut al-uqud).
Supremasi hukum merupakan salah satu pilar penting dalam Islam, karena tanpa supremasi
hukum, keadilan tidak akan pernah terwujud. Selain itu, dalam tata pemerintahan di Madinah
tiap individu berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup
mereka melalui pertimbangan dan konsultasi bersama (disebut syura dan musyawarah).
Faktor-faktor penting yang perlu diupayakan untuk mencapai tata pemerintahan yang baik,
yaitu: masing-masing pelaku menaati kesepakatan yang telah disetujui bersama. Tiap manusia
mempunyai hak mendasar seperti yang diutarakan Nabi Muhammad SAW dalam pidato
perpisahan Nabi Muhammad SAW (disebut khutbah al-wada), yaitu: hak atas hidup, hak atas
milik dan kehormatan. Ditekankan juga bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan kebebasan,
yang hanya akan bertahan bila ada sistem hukum, dimana pemimpin dan masyarakat saling
bertanggung jawab.
Hal ini dapat diwujudkan di Indonesia bila ada konsensus mengenai tata
pemerintahan yang baik.
Peran pemimpin dipandang penting dalam menciptakan pemerintahan yang baik, yaitu:
pemimpin bervisi strategis dan pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan. Pemimpin
tersebut harus mampu mengembangkan potensi anggota masyarakatnya dan menciptakan
konsensus di antara semua pihak yang berkepentingan, seperti teladan Nabi Muhammad SAW.
Ir. Erna Anastasjia Witoelar
Dikutip dari bulletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di
Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), kerja sama antara UNDP, World
Bank, ADB beserta negara-negara sahabat, masyarakat madani dan pemerintah Indonesia.
Dalam pandangan Erna Witoelar, governance atau tata pemerintahan mempunyai makna yang
jauh lebih luas dari pemerintahan. Tata pemerintahan menyangkut cara-cara yang disetujui
bersama dalam mengatur pemerintahan dan kesepakatan yang dicapai antara individu,
masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta. Ada dua hal penting
dalam hubungan ini:
a. Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya.
b. Adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Melalui proses di atas diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat.
Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari berbagai warna yang ada dalam tata
pengaturan tersebut.
Ukuran tata pemerintahan yang baik adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat diterima
sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani.
- Pengaturan di dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan kekuasaan antara
badan eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR), dan yudikatif (pengadilan).
Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara pemerintah pusat dan daerah.
- Sektor swasta mengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk mengatur
perusahaan dalam negeri, besar maupun kecil, perusahaan multinasional, koperasi, dan
sebagainya.
- Masyarakat madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur kelompok-kelompok
yang berbeda seperti kelompok agama, kelompok olahraga, kelompok kesenian, dan
sebagainya.
Menurut Erna, masyarakat dapat terlibat dalam tata pemerintahan yang baik, antara lain:
- Pertama, dengan mengawasi sektor publik dan sektor swasta, dan juga memberikan
masukan-masukan yang konstruktif pada pemerintah dan sektor swasta demi
berlangsungnya pelayanan yang baik bagi masyarakat luas.
- Kedua, terlibat langsung dalam proses-proses pembangunan yang menyangkut diri sendiri
dan masyarakat. Warga masyarakat misalkan saja dapat membentuk paguyuban-paguyuban
lokal atau bergabung dengan LSM-LSM yang ikut ambil bagian aktif dalam pembangunan di
daerah setempat.
Prof. Bintoro Tjokroamidjojo
Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, “Good Governance, (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan)”,
Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX, Mei 2000.
Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen
pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran
pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat
berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan
yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga
agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses pembangunan dan
perubahan masyarakat bangsa.
Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan
dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan
anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga menstimulusi investasi sektor
swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal di tangan pemerintah.
Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat
dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam governance. Pemerintah bertindak
sebagai regulator dan pelaku pasar untuk menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan
investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui
koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta). Masyarakat dan
dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan masyarakat.
Drs. Setia Budi, M.A.
“Aparatur Pemerintah yang Profesional: Dapatkah diciptakan?”, hal. 7-9, Jurnal Perencanaan
Pembangunan, No.17, Oktober 1999.
Setia Budi mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat lima ciri sebagai prinsip utama yang
harus dipenuhi dalam kriteria good public governance sebagai prinsip yang saling terikat, yaitu:
- Akuntabilitas (accountabilty), ialah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan;
- Keterbukaan dan transparan (openess and transparency);
- Ketaatan pada aturan hukum;
- Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada
kelompok atau pribadi;
- Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan.
Penjabaran kelima prinsip tersebut sebagai berikut:
👉 Akuntabilitas
Aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung-jawabkan pelaksanaan kewenangan yang
diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah harus dapat mempertanggung -
jawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya
termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi
pemerintahan, yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.
Prinsip akuntabilitas mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak
terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan
atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan tindakan aparatur pemerintah. Selain itu,
akuntabiltas juga berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan
dalam pencapaian sasaran atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, tidak
ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan
yang dapat lepas dari prinsip ini.
👉 Keterbukaan dan Transparan (openess and transparency)
Masyarakat dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan
informasi dengan mudah tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur pemerintahan
baik di tingkat pusat maupun daerah, atau data dan informasi lainnya yang tidak dilarang
menurut peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan
juga dalam arti masyarakat atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam
perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan
kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Data dan informasi yang berkaitan dengan
tugas/fungsi aparatur pemerintah (instansi) yang bersangkutan harus disediakan secara benar,
misalnya data PNS oleh BAKN, data guru oleh Depdiknas, data realisasi panen padi oleh
Departemen Pertanian, dan sebagainya. Perlunya dihindari adanya data dan informasi yang
bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yang sebenarnya. Sebab keputusan atau kebijakan
publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan pada data dan informasi
yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut akan menimbulkan masalah
baru.
👉 Ketaatan Pada Aturan Hukum
Aparatur pemerintah menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan
hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas) maupun yang
berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya: aturan kepegawaian dan aturan
pengawasan fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada
masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundang -
undangan yang berkaitan dengan masyarakat.
👉 Komitmen
Prinsip komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan
pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya
Prinsip ini merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal ini sesuai
dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara
pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas -batas tertentu).
Prinsip komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan
Prinsip ini menegaskan bahwa tanpa komitmen ini, maka yang timbul bukan partisipasi
masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap perilaku dan
kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri aparatur pemerintah akan
tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi, anggapan atau perasaan paling tahu,
paling bisa dan paling berkuasa, dan cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang
lain, yang pada akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah.
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
“Membangun Pondasi Good Governance di Masa Transisi”, MTI, Jakarta, Mei 2000.
Dalam perspektif MTI, good governance mensyaratkan empat azas, yaitu: transparansi
(transparency), pertanggungjawaban (accountability), kewajaran atau kesetaraan (fairness),
dan kesinambungan (sustainability), dengan pengertian sebagai berikut:
- Transparansi, bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang
kebijakan publik, dan proses pembentukkannya. Dengan ketersediaan informasi seperti itu,
masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa
memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat, serta mencegah terjadinya kecurangan dan
manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja secara tidak
proporsional.
- Akuntabilitas, bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui
distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah, sehingga mengurangi penumpukkan
kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances system).
Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan
kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan), serta legislatif (MPR dan DPR). Selain itu,
peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar
keempat.
- Kewajaran atau kesetaraan, bermakna memberikan kesempatan yang sama bagi semua
kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam pengambilan pengambilan keputusan publik.